Aku pernah melakukan sebuah
perjalanan panjang dengan kereta api, dari ujung pulau ke ujung satunya lagi.
Perjalanan dimulai ketika stasiun tua di tengah kota tersebut diterangi
larik-larik cahaya kuning keemasan, tanda matahari akan segera karam.
Orang-orang sibuk bicara, air mata sibuk menjadi hujan, beberapa jatuh ke
lantai, beberapa sempat disembunyikan.
Aku duduk di pintu,
mengatur tasku sedemikian rupa agar tidak jatuh keluar atau menghalangi jalan
orang lalu-lalang. Kereta mulai bergerak lambat-lambat dan aku melipat tangan
rekat-rekat untuk melindungi dadaku dari angin yang bertiup dengan liciknya
dari celah pintu, pintu kubuka, wajahku ditampar cahaya lampu kota, lalu
kututup lagi, sepertinya memang tidak akan bisa ditutup terlalu rapat. Aku
menduduki selembar koran tepat di halaman rubrik obituari, kemudian
menghabiskan sepuluh menit berikutnya untuk membacanya satu per satu dari celah
kakiku, telah berpulang, telah pergi, dari keluarga yang ditinggalkan, semoga
tuhan mengampuni. Aku tidak dapat mengingat kapan terakhir kali orang mati bisa
seriuh ini.
Seorang pedagang kopi
berumur enam puluhan menawarkan kopi, sudah pasti. Rambutnya yang tipis-tipis
berwarna putih keperakan seperti pohon cemara meranggas dimakan angin malam
disisirnya ke belakang. Aku mengiyakan, sambil berkata orang seumurnya tidak
seharusnya masih kelayapan, pedagang kopi tertawa, bahunya berguncang-guncang,
matanya terbelalak berusaha menangkap napas yang berserakan. Kopi sudah jadi,
lalu kami duduk berhadap-hadapan. Tidak keliling lagi, tanyaku. Nanti lagi
bisa, katanya.
Kereta berjalan seperti
seharusnya, tiang listrik berkejar-kerjaran di luar jendela seperti biasa.
Pedagang kopi di depanku
menyeduh percakapan lebih cepat dari kopi, ia bercerita tentang istri-istrinya
yang tidak pernah berhenti menua, jauh dari bayangannya dulu ketika ia menikahi
mereka dengan tergesa-gesa. Satu saja, kataku. Memang satu, katanya. Lalu yang
lain, tanyaku. Sudah pergi satu-persatu, jawabnya. Kopiku masuk ke dalam kepala
lebih cepat dari percakapan, pedagang kopi meludahi lantai kereta sepanjang
perjalanan. Ia bercerita tentang anak-anaknya yang minta dibelikan buku gambar
dan pensil warna gara-gara anak tetangga yang katanya bisa menggambar sawah
dengan warna hijau terang meskipun sawah ayahnya sudah dua kali gagal panen
diterjang banjir bandang. Belikan saja, kataku. Jangan dulu, katanya. Kenapa,
tanyaku. Anaknya buta warna, jawabnya.
Toh termos kopi warnanya
itu-itu saja, kataku lagi. Ia tertawa keras sekali.
Kereta sauh di stasiun
kecil berdebu tepat ketika pagi jatuh. Orang-orang berceceran keluar kereta
melalui lubang-lubang yang pertama kali mereka temukan. Aku melihat jam. Sudah
dekat. Aku bisa mencium wangi rindumu dari sini, tajam sekali. Beberapa jam
lagi aku akan menemukanmu berdiri di seberang jalan dengan raut muka cemas
membayangkan bocah kecilnya menempuh perjalanan begitu panjang, lalu kita akan
bertatap-tapan dan saling mencari pantulan masing-masing dalam diam. Kau akan
melihatku menjatuhkan tas begitu saja pura-pura kelelahan, agar malam nanti kau
membiarkanku bermain sepuasnya di pekarangan dadamu yang lapang.
Lalu seperti biasa, kau
akan bertanya apa yang kusembunyikan di tanganku. Lalu aku akan berkata, aku
membawakanmu buku gambar dan pensil warna. Karena selama ratusan hari ini
terpisah ratusan kilometer denganmu -aku bosan dengan warna yang itu-itu saja.
Re-post dari Nitisamasta Dad Blog :)