Sejak kita masih kecil, sangat kecil, kita sudah
dikenalkan dengan angka-angka. Kemudian saat sudah mulai kelihatan cerdasnya,
kita diajari berhitung. Setiap hari, mulai dari bangun tidur sampai kita tidur
lagi, tak lepas pula pada angka-angka. Pada alarm yang berdering nyaring, pada
jam yang berdetik-detuk di pergelangan tangan atau di dinding, pada hitungan
mundur lampu lalu lintas, pada segenap angka-angka ruwet dalam penugasan, pada
lembar-lembar rupiah yang ditukarkan, dan masih banyak lagi.
Kita tak pernah bisa berhenti
berhitung. Semua hal mulai diperhitungkan. Tak mesti angka, tiap derap langkah
yang diambil akan selalu dipenuhi perhitungan. Tiap kata yang terucap, akan
selalu diikuti perhitungan-perhitungan lagi. Seperti itu seterusnya. Sampai
akhirnya kita terbiasa untuk menghitung segalanya.
Benar-benar
segalanya.
Jarak dari bumi ke bulan.
Selisih nilai ujian.
Uang jajan.
Kebutuhan.
Harga-harga pakaian.
Bahkan kebahagiaan orang.
Kita hitung semuanya. Sampai
keriting jari tangan, sampai kita sempoyongan, sampai sesenggukan di tengah
malam, menangisi tiap kekurangan yang selalu saja gagal dicukupi, tiap utang
keinginan yang selalu gagal dilunasi.
Kerakusan macam lautan.
Semakin kau ikuti, semakin kau tenggelam. Semakin ke dalam, semakin lupa
permukaan.
Maka begitulah kita. Menjadi
generasi penghitung. Lupa bahwa ada saatnya kita harus – memang harus-
berhenti.
Sejenak.
Memejamkan mata.
Bersyukur atas kebahagiaan
yang luput kita lihat karena tangan terlalu sibuk menengadah, bukan untuk
berdoa, melainkan untuk menandai kebahagiaan orang lain.
Re-Post dari Al's Jatukrama Blog :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar