Jumat, 21 Agustus 2015

Berhenti Menghitung

Sejak kita masih kecil, sangat kecil, kita sudah dikenalkan dengan angka-angka. Kemudian saat sudah mulai kelihatan cerdasnya, kita diajari berhitung. Setiap hari, mulai dari bangun tidur sampai kita tidur lagi, tak lepas pula pada angka-angka. Pada alarm yang berdering nyaring, pada jam yang berdetik-detuk di pergelangan tangan atau di dinding, pada hitungan mundur lampu lalu lintas, pada segenap angka-angka ruwet dalam penugasan, pada lembar-lembar rupiah yang ditukarkan, dan masih banyak lagi.
Kita tak pernah bisa berhenti berhitung. Semua hal mulai diperhitungkan. Tak mesti angka, tiap derap langkah yang diambil akan selalu dipenuhi perhitungan. Tiap kata yang terucap, akan selalu diikuti perhitungan-perhitungan lagi. Seperti itu seterusnya. Sampai akhirnya kita terbiasa untuk menghitung segalanya.
Benar-benar segalanya.
Jarak dari bumi ke bulan.
Selisih nilai ujian.
Uang jajan.
Kebutuhan.
Harga-harga pakaian.
Bahkan kebahagiaan orang.
Kita hitung semuanya. Sampai keriting jari tangan, sampai kita sempoyongan, sampai sesenggukan di tengah malam, menangisi tiap kekurangan yang selalu saja gagal dicukupi, tiap utang keinginan yang selalu gagal dilunasi.
Kerakusan macam lautan. Semakin kau ikuti, semakin kau tenggelam. Semakin ke dalam, semakin lupa permukaan.
Maka begitulah kita. Menjadi generasi penghitung. Lupa bahwa ada saatnya kita harus – memang harus- berhenti.
Sejenak.
Memejamkan mata.
Bersyukur atas kebahagiaan yang luput kita lihat karena tangan terlalu sibuk menengadah, bukan untuk berdoa, melainkan untuk menandai kebahagiaan orang lain.


 Re-Post dari Al's Jatukrama Blog :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar