Kamis, 14 Mei 2015

TEMAN SEPERJUANGAN

Hai kotaku tempat rantauanku. Kendari, Sulawesi Tenggara.
Hai kampusku tempatku satu – satunya lulus saat mendaftar penerimaan mahasiwa baru. STIKES Mandala Waluya.




Hai kalian, teman kelompok pertama yang juga sekelas sampai sekarang


Muhammad Haswin, Arni, Asrianti L, Silviraningsih, saya, Adi Saputra, dan Bahalumi. Lainnya, I Nyoman Tridaryanto, Raninda Wahyuningsih, Sukmawati (tidak ada dlm foto)
Teman seperjuangan selama Ospek. Apapun yang dilakukan selalu bersama dan sekarang, kita sama – sama menjunjung almamater kebanggaan sembari meniti semesta meraih gelar sarjana.

Hai teman kelasku, F5 Keperawatan. Yang dengan jelas, seorang teman dari kelas lain mengatakan kita kompak. Hahaha, kompak kah keluarga F5? Hanya penghuni di dalamnya yang tanpa memandang sekat yang tahu.


Kita mahasiswa keperawatan semester 6 yang tidak lama lagi akan berakhir pada tugas akhir kuliah yang terdiri dari deretan Seminar Proposal-Hasil Penelitian-PraKompren-Kompren(skripsi). Semoga kita dapat berfoto kembali seperti ini dengan jas almamater saat yudisium bahkan kita dapat berselfie bersama dengan Toga masing – masing. Aaammiiinnn ya Rabb

Masih F5 tapi ini saat seorang dosen memberi tugas untuk membuat kalender dan harus ada foto kelompok :D

eh potonya kebalik :| aku ndak tau tebalikinnya begimaneee :D












KEGAWATDARURATAN "Konsep Medis Laserasi Wajah"

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
            Laserasi wajah merupakan trauma fisik yang dapat mengenai jaringan keras dan lunak wajah. Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Trauma pada wajah sering mengakibatkan terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan lunak, hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Oleh karena itu, diperlukan perawatan kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin.1
                Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab dengan persentase yang tinggi terjadinya kecacatan dan kematian pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya mengenai batas usia 21-30 tahun. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal harus menjalani rawat inap di rumah sakit dan dapat mengalami cacat permanen. Oleh karena itu, diperlukan perawatan kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin.
Cedera maksilofasial, juga disebut sebagai trauma wajah, meliputi cedera pada wajah, mulut dan rahang. Hampir setiap orang pernah mengalami seperti cedera, atau mengetahui seseorang yang memiliki.1
Sebagian besar fraktur yang terjadi pada tulang rahang akibat trauma maksilofasial dapat dilihat jelas dengan pemeriksaan dan perabaan serta menggunakan penerangan yang baik. Trauma pada rahang mengakibatkan terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan lunak,hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Namun, trauma pada rahang jarang menimbulkan syok dan bila hal tersebut  terjadi mungkin disebabkan adanya komplikasi yang lebih parah, seperti pasien dengan kesadaran yang menurun tidak mampu melindungi jalan pernafasan dari darah, patahan gigi.1
Kedaruratan trauma maksilofasial merupakan suatu penatalaksanaan tindakan darurat pada orang yang baru saja mengalami trauma pada daerah maksilofasial (wajah). Penatalaksanaan kegawatdaruratan pada trauma maksilofasial oleh dokter umum  hanya mencakup bantuan hidup dasar (basic life support) yang berguna menurunkan tingkat kecacatan dan kematian pasien sampai diperolehnya penanganan selanjutnya di rumah sakit. Oleh karena itu, para dokter umum harus mengetahui prinsip dasar ATLS (Advance Trauma Life Support) yang merupakan prosedur-prosedur penanganan pasien yang  mengalami kegawatdaruratan.1
Prinsip-prinsip untuk mengobati patah tulang wajah adalah sama seperti untuk patah lengan atau kaki. Bagian-bagian dari tulang harus berbaris (dikurangi) dan ditahan dalam posisi cukup lama untuk memungkinkan mereka waktu untuk menyembuhkan. Ini mungkin membutuhkan enam minggu atau lebih tergantung pada usia pasien dan kompleksitas fraktur itu.2
Menghindari cedera merupakan hal yang terbaik, ahli bedah mulut dan maksilofasial menganjurkan penggunaan sabuk pengaman mobil, penjaga pelindung mulut, dan masker yang tepat dan helm untuk semua orang yang berpartisipasi dalam kegiatan atletik di tingkat manapun.2

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
a)      Apa definisi Laserasi wajah ?
b)      Bagaimana Anatomi Laserasi wajah ?
c)      Bagaimana Epidemologi laserasi wajah
d)     Apa saja etiologi Laserasi Wajah ?
e)      Bagaimana Klasifikasi laserasi wajah ?
f)       Bagaimana Patofisiologi Laserasi Wajah?
g)      Bagaimana Manifestasi klinik laserasi Wajah ?
h)      Bagaimana Pemeriksan diagnosis laserasi wajah  ?
i)        Bagaimana penatalaksanan Laserasi Wajah ?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui pengertian dari Laserasi wajah
2.      Untuk mengetahui anatomi laserasi wajah
3.      Untuk mengetahui epidemologi laserasi wajah
4.      Untuk mengetahui etiologi dari penyakit Laserasi wajah
5.      Untuk mengetahui klasifikasi laserasi wajah
6.      Untuk mengetahui patofisiologi dari Laserasi wajah
7.      Untuk mengetahui manifestasi klinik laserasi waja.
8.      Untuk mengetahui pemeriksan diagnosis laserasi wajah
9.      Untuk Mengetahui penatalaksanan laserasi wajah .
10.  Untuk mengetahui proses pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien penderita Pterigium.




D. Manfaat Penulisan
a)    Manfaat bagi Tim Penulis
Dapat menambah pengetahuan dan pengalaman dalam membuat karya ilmiah dan menambah wawasan khususnya tentang penyakit Laserasi wajah dan ruang lingkupnya.
b)   Manfaat bagi pembaca
Menjadi bahan masukan dalam menambah khazanah ilmu pengetahuan terutama mengenai konsep tentang Laserasi wajah dan ruang lingkupnya dalam bidang kesehatan.











BAB II
PEMBAHASAN
A.KONSEP MEDIS
1. Definisi Laserasi Wajah
Laserasi wajah adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang kepala yang terdiri dari : tulang hidung, tulang arkus zigomatikus, tulang mandibula, tulang maksila, tulang rongga mata, gigi, tulang alveolus. Yang dimaksud dengan trauma jaringan lunak  antara lain :
1. Abrasi kulit, tusukan, laserasi, tato.
2. Cedera saraf, cabang saraf fasial.
3. Cedera kelenjar parotid atau duktus Stensen.
4. Cedera kelopak mata.
5. Cedera telinga.
6. Cedera hidung.3,4

2. Anatomi Laserasi wajah
Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama dan kedua setelah lahir dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada anak usia 4-5 tahun, besar kranium sudah mencapai 90% cranium dewasa. Maksilofasial tergabung dalam tulang wajah yang tersusun secara baik dalam membentuk wajah manusia.1
Daerah maksilofasial dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama adalah wajah bagian atas, di mana patah tulang melibatkan frontal dan sinus. Bagian kedua adalah midface tersebut. Midface dibagi menjadi bagian atas dan bawah. Para midface atas adalah di mana rahang atas Le Fort II dan III Le Fort fraktur terjadi dan / atau di mana patah tulang hidung, kompleks nasoethmoidal atau zygomaticomaxillary, dan lantai orbit terjadi. Bagian ketiga dari daerah maksilofasial adalah wajah yang lebih rendah, di mana patah tulang yang terisolasi ke rahang bawah.
Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari tengkorak otak. Didalam tulang wajah terdapat rongga-rongga yang membentuk rongga mulut (cavum oris), dan rongga hidung (cavum nasi) dan rongga mata (orbita).
a. Bagian hidung terdiri atas :
                 Os Lacrimal (tulang mata) letaknya disebelah kiri/kanan pangkal hidung disudut mata. Os Nasal (tulang hidung) yang membentuk batang hidung sebelahatas. Dan Os Konka nasal (tulang karang hidung), letaknya di dalam ronggahidung dan bentuknya berlipat-lipat. Septum nasi (sekat rongga hidung) adalahsambungan dari tulang tapis yang tegak.
b. Bagian rahang terdiri atas tulang-tulang seperti :
                 Os Maksilaris (tulang rahang atas), Os Zigomaticum, tulang pipi yangterdiri dari dua tulang kiri dan kanan. Os Palatum atau tulang langit-langit, terdiridari dua dua buah tulang kiri dan kanan. Os Mandibularis atau tulang rahangbawah, terdiri dari dua bagian yaitu bagian kiri dan kanan yang kemudian bersatudi pertengahan dagu. Dibagian depan dari mandibula terdapat processus coracoids tempat melekatnya otot.

Facial danger zones (Zona bahaya wajah)
                 Secara anatomi, wajah memiliki beberapa serabut-serabut saraf yang tersebar di beberapa lokasi di wajah, ada 7 lokasi-lokasi penting di sekitar wajah yang apabila terjadi trauma atau kesalahan dalam penanganan trauma maksilofasial akan berakibat fatal, lokasi-lokasi tersebut disebut dengan facial danger  zone.
3. Epidemiologi               
Dari data penelitian itu menunjukan bahwa kejadian trauma maksilofasial sekitar 6% dari seluruh trauma yang ditangani oleh SMF Ilmu Bedah RS Dr.Soetomo. Kejadian fraktur mandibula dan maksila terbanyak diantara 2 tulang lainnya, yaitu masing-masing sebesar 29,85 %, disusul fraktur zigoma 27,64 % dan fraktur nasal 12, 66 %. Penderita fraktur maksilofasial ini terbanyak pada laki-laki usia produktif,yaitu usia 21-30 tahun, sekitar 64,38 % disertai cedera di tempat lain, dan trauma penyerta terbanyak adalah cedera otak ringan sampai berat, sekitar 56%. Penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas dan sebagian besar adalah pengendara sepeda motor.
4. Etiologi Laserasi wajah
Trauma wajah di perkotaan paling sering disebabkan oleh perkelahian, diikuti oleh kendaraan bermotor dan kecelakaan industri. Para zygoma dan rahang adalah tulang yang paling umum patah selama serangan. Trauma wajah dalam pengaturan masyarakat yang paling sering adalah akibat kecelakaan kendaraan bermotor, maka untuk serangan dan kegiatan rekreasi. Kecelakaan kendaraan bermotor menghasilkan patah tulang yang sering melibatkan midface, terutama pada pasien yang tidak memakai sabuk pengaman mereka. Penyebab penting lain dari trauma wajah termasuk trauma penetrasi, kekerasan dalam rumah tangga, dan pelecehan anak-anak dan orang tua.
Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah karena harus rawat inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas

5. Klasifikasi Laserasi wajah
Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan lunak biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada kecelakaan lalu lintas atau pisau dan golok pada perkelahian.3

laserasi  jaringan lunak wajah
v  Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma dari luar.
v  Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan : 3,5
1. Berdasarkan jenis luka dan penyebab:
a. Ekskoriasi
b. Luka sayat, luka robek , luka bacok.
c. Luka bakar
d. Luka tembak
2. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan
3. Dikaitkan dengan unit estetik
            Menguntungkan atau tidak menguntungkan, dikaitkan dengan garis Langer.
           
            Laserasi  jaringan keras wajah
                        Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur     tulang yang     terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg definitif.         Secara umum dilihat dari terminologinya, trauma pada jaringan keras wajah   dapat diklasifikasikan berdasarkan : 3
1. Dibedakan berdasarkan lokasi anatomic dan estetik.a
a. Berdiri Sendiri : fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum, maxilla, mandibulla, gigi dan alveolus.
b. Bersifat Multiple : Fraktur kompleks zigoma, fronto nasal dan fraktur kompleks mandibula

6. Patofisiologi Laserasi wajah
Kehadiran energi kinetik dalam benda bergerak adalah fungsi dari massa dikalikan dengan kuadrat kecepatannya. Penyebaran energi kinetik saat deselerasi menghasilkan kekuatan yang mengakibatkan cedera. Berdampak tinggi dan rendah-dampak kekuatan didefinisikan sebagai besar atau lebih kecil dari 50 kali gaya gravitasi. Ini berdampak parameter pada cedera yang dihasilkan karena jumlah gaya yang dibutuhkan untuk menyebabkan kerusakan pada tulang wajah berbeda regional. Tepi supraorbital, mandibula (simfisis dan sudut), dan tulang frontal memerlukan kekuatan tinggi-dampak yang akan rusak. Sebuah dampak rendah-force adalah semua yang diperlukan untuk merusak zygoma dan tulang hidung.               `
Patah Tulang Frontal : ini terjadi akibat  dari pukulan berat pada dahi. Bagian anterior dan / atau posterior sinus frontal mungkin terlibat. Gangguan lakrimasi mungkin dapat terjadi jika dinding posterior sinus frontal retak. Duktus nasofrontal sering terganggu.

Fraktur Dasar Orbital : Cedera dasar orbital dapat menyebabkan suatu fraktur yang terisolasi atau dapat disertai dengan fraktur dinding medial. Ketika kekuatan menyerang pinggiran orbital, tekanan intraorbital meningkat dengan transmisi ini kekuatan dan merusak bagian-bagian terlemah dari dasar dan dinding medial orbita. Herniasi dari isi orbit ke dalam sinus maksilaris adalah mungkin. Insiden cedera okular cukup tinggi, namun jarang menyebabkan kematian.
Patah Tulang Hidung: Ini adalah hasil dari kekuatan diakibatkan oleh trauma langsung.7
Fraktur Nasoethmoidal (noes):
akibat perpanjangan kekuatan trauma dari hidung ke tulang ethmoid dan dapat mengakibatkan kerusakan pada canthus medial, aparatus lacrimalis, atau saluran nasofrontal.1,7
Patah tulang lengkung zygomatic: Sebuah pukulan langsung ke lengkung zygomatic dapat mengakibatkan fraktur terisolasi melibatkan jahitan zygomaticotemporal.
Patah Tulang Zygomaticomaxillary kompleks (ZMCs): ini menyebabkan patah tulang dari trauma langsung. Garis fraktur jahitan memperpanjang melalui zygomaticotemporal, zygomaticofrontal, dan zygomaticomaxillary dan artikulasi dengan tulang sphenoid. Garis fraktur biasanya memperpanjang melalui foramen infraorbital dan lantai orbit. Cedera mata serentak yang umum.
Patah tulang rahang atas : ini dikelompokkan sebagai Le Fort I, II, atau III.
9

1.      Fraktur Le Fort I adalah fraktur rahang horizontal di aspek inferior rahang atas dan memisahkan proses alveolar dan langit-langit keras dari seluruh rahang atas. Fraktur meluas melalui sepertiga bagian bawah septum dan termasuk sinus maksilaris dinding lateralis memperluas ke tulang palatina dan piring pterygoideus.
2.       Fraktur Le Fort II adalah fraktur piramida mulai dari tulang hidung dan memperluas melalui tulang lacrimalis; ke bawah melalui jahitan zygomaticomaxillary; terus posterior dan lateral melalui rahang atas, bawah zygoma itu, dan ke dalam piring pterygoideus.
3.       Fraktur Le Fort III atau dysjunction kraniofasial adalah pemisahan dari semua tulang wajah dari dasar tengkorak dengan fraktur simultan dari zygoma, rahang, dan tulang hidung. Garis fraktur meluas melalui tulang ethmoid posterolaterally, orbit, dan jahitan pterygomaxillary ke fosa sphenopalatina.9
Fraktur mandibula: Ini dapat terjadi di beberapa lokasi sekunder dengan bentuk U-rahang dan leher condylar lemah. Fraktur sering terjadi bilateral di lokasi terpisah dari lokasi trauma langsung.8
Patah tulang alveolar: Ini dapat terjadi dalam isolasi dari kekuatan rendah energi langsung atau dapat hasil dari perpanjangan garis fraktur melalui bagian alveolar rahang atas atau rahang bawah.1
Fraktur Panfacial: Ini biasanya sekunder mekanisme kecepatan tinggi mengakibatkan cedera pada wajah atas, midface, dan wajah yang lebih rendah



7. Manifestasi Klinis
Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa :
ü Dislokasi, berupa perubahan posisi yg menyebabkan maloklusi terutama pada fraktur mandibula.
ü    Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur.
ü Rasa nyeri pada sisi fraktur.
ü   Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas.
ü Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi daerah fraktur.
ü Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran.
ü Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur.
ü Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan.
ü Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi dibawah nervus alveolaris.
ü Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan pergerakan bola mata dan penurunan visus
8.  Pemeriksan diagnostic
1. Anamnesa 1
            Mendapatkan informasi tentang alergi, obat, status tetanus, riwayat medis dan bedah masa lalu, merupakan hal yang paling terakhir, dan peristiwa seputar cedera    
2. Pemeriksaan Fisik
v  Inspeksi
Secara sistematis bergerak dari atas ke bawah :
ü  Deformitas, memar, abrasi, laserasi, edema.
ü  Luka tembus.
ü  Asimetris atau tidak.
ü  Adanya Maloklusi / trismus, pertumbuhan gigi yang abnormal.
ü  Otorrhea / Rhinorrheaf. Telecanthus, Battle's sign, Raccoon's sign.
ü  Cedera kelopak mata.
ü  Ecchymosis, epistaksisi.
ü  Defisit pendengaran.
ü  Perhatikan ekspresi wajah untuk rasa nyeri, serta rasa cemas
v  Palpasi
1.      Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak, ecchymosis, jaringan hilang, luka, dan perdarahan, Periksa luka terbukauntuk memastikan adanya benda asing seperti pasir, batu kerikil.
2.      Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi. Jika gigi avulsi, mengesampingkan adanya aspirasi.
3.      Palpasi untuk cedera tulang, krepitasi, terutama di daerah pinggiran supraorbital dan infraorbital, tulang frontal, lengkungan zygomatic, dan pada artikulasi zygoma dengan tulang frontal, temporal, dan rahang atas.
4.      Periksa mata untuk memastikan adanya exophthalmos atau enophthalmos, menonjol lemak dari kelopak mata, ketajaman visual, kelainan gerakan okular, jarak interpupillary, dan ukuran pupil, bentuk,dan reaksi terhadap cahaya, baik langsung dan konsensual.
5.      Perhatikan sindrom fisura orbital superior, ophthalmoplegia, ptosis dan proptosis.
6.      Balikkan kelopak mata dan periksa benda asing atau adanya laserasi.
7.      Memeriksa ruang anterior untuk mendeteksi adanya perdarahan, seperti hyphema.
8.      Palpasi daerah orbital medial. Kelembutan mungkin menandakan kerusakan pada kompleks nasoethmoidal.
9.      Lakukan tes palpasi bimanual hidung, bius dan tekan intranasal terhadap lengkung orbital medial. Secara bersamaan tekan canthus medial. Jika tulang bergerak, berarti adanya kompleks nasoethmoidal yang retak.
10.  Lakukan tes traksi. Pegang tepi kelopak mata bawah, dan tarik terhadap bagian medialnya. Jika "tarikan" tendon terjadi, bisa dicurigai gangguan dari canthus medial.
11.  Periksa hidung untuk telecanthus (pelebaran sisi tengah hidung) atau dislokasi. Palpasi untuk kelembutan dan krepitasi.
12.  Periksa septum hidung untuk hematoma, massa menonjol kebiruan, laserasi pelebaran mukosa, fraktur, atau dislokasi, dan rhinorrhea cairan cerebrospinal.
13.  Periksa untuk laserasi liang telinga, kebocoran cairan serebrospinal, integritas membran timpani, hemotympanum, perforasi, atauecchymosis daerah mastoid (Battle sign).
14.  Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ecchymosis, atau bengkak. Secara Bimanual meraba mandibula, dan memeriksa tanda-tanda krepitasi atau mobilitas.
15.  Tempatkan satu tangan pada gigi anterior rahang atas dan yang lainnya di sisi tengah hidung.
16.  Gerakan hanya gigi menunjukkan fraktur le fort I. Gerakan di sisi hidung menunjukkan fraktur Le Fort II atau III.
17.  Memanipulasi setiap gigi individu untuk bergerak, rasa sakit, gingival dan pendarahan intraoral, air mata, atau adanya krepitasi.
18.  Lakukan tes gigit pisau. Minta pasien untuk menggigit keras pada pisau. Jika rahang retak, pasien tidak dapat melakukan ini dan akan mengalami rasa sakit.
19.  Meraba seluruh bahagian mandibula dan sendi temporomandibular untuk memeriksa nyeri, kelainan bentuk, atau ecchymosis.
20.  Palpasi kondilus mandibula dengan menempatkan satu jari di saluran telinga eksternal, sementara pasien membuka dan menutup mulut. Rasa sakit atau kurang gerak kondilus menunjukkan fraktur.
21.  Periksa paresthesia atau anestesi saraf.3

9. Pemeriksaan Penunjang
1. Wajah Bagian Atas :
ü  CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D).
ü   CT-scan aksial koronal.
ü       Imaging Alternatif diantaranya termasuk CT Scan kepaladan X-ray kepala
2. Wajah Bagian Tengah :
ü  CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D).
ü  CT scan aksial koronal.
ü  Imaging Alternatif diantaranya termasuk radiografi posisi waters dan posteroanterior (Caldwells), Submentovertek (Jughandles).
3. Wajah Bagian Bawah :
ü  CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D.
ü  Panoramic X-ray.
ü  Imaging Alternatif diagnostik mencakup posisi :
ü  Posteroanterior (Caldwells)
ü  Posisi lateral (Schedell)

ü  Posisi towne.

SEMOGA BERMANFAAT