BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Laserasi wajah
merupakan trauma fisik yang dapat mengenai jaringan keras dan lunak wajah.
Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas,
kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Trauma pada
wajah sering mengakibatkan terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan,
luka jaringan lunak, hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit.
Oleh karena itu, diperlukan perawatan kegawatdaruratan yang tepat dan secepat
mungkin.1
Kecelakaan
lalu lintas adalah penyebab dengan persentase yang tinggi terjadinya kecacatan
dan kematian pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka
terbesar biasanya mengenai batas usia 21-30 tahun. Berdasarkan studi yang
dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas. Pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal harus
menjalani rawat inap di rumah sakit dan dapat mengalami cacat permanen. Oleh
karena itu, diperlukan perawatan kegawatdaruratan yang tepat dan secepat
mungkin.
Cedera maksilofasial, juga
disebut sebagai trauma wajah, meliputi cedera pada wajah, mulut dan rahang.
Hampir setiap orang pernah mengalami seperti cedera, atau mengetahui seseorang
yang memiliki.1
Sebagian besar fraktur yang terjadi pada tulang
rahang akibat trauma maksilofasial dapat dilihat jelas dengan pemeriksaan dan
perabaan serta menggunakan penerangan yang baik. Trauma pada rahang
mengakibatkan terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan
lunak,hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Namun, trauma
pada rahang jarang menimbulkan syok dan bila hal tersebut terjadi mungkin
disebabkan adanya komplikasi yang lebih parah, seperti pasien dengan kesadaran
yang menurun tidak mampu melindungi jalan pernafasan dari darah, patahan gigi.1
Kedaruratan trauma maksilofasial merupakan
suatu penatalaksanaan tindakan darurat pada orang yang baru saja mengalami
trauma pada daerah maksilofasial (wajah). Penatalaksanaan kegawatdaruratan pada
trauma maksilofasial oleh dokter umum hanya mencakup bantuan hidup dasar
(basic life support) yang berguna
menurunkan tingkat kecacatan dan kematian pasien sampai diperolehnya penanganan
selanjutnya di rumah sakit. Oleh karena itu, para dokter umum harus
mengetahui prinsip dasar ATLS (Advance
Trauma Life Support) yang merupakan prosedur-prosedur penanganan pasien
yang mengalami kegawatdaruratan.1
Prinsip-prinsip untuk
mengobati patah tulang wajah adalah sama seperti untuk patah lengan atau kaki.
Bagian-bagian dari tulang harus berbaris (dikurangi) dan ditahan dalam posisi
cukup lama untuk memungkinkan mereka waktu untuk menyembuhkan. Ini mungkin
membutuhkan enam minggu atau lebih tergantung pada usia pasien dan kompleksitas
fraktur itu.2
Menghindari cedera merupakan hal yang terbaik, ahli bedah mulut dan maksilofasial menganjurkan penggunaan
sabuk pengaman mobil, penjaga pelindung mulut, dan masker yang tepat dan helm
untuk semua orang yang berpartisipasi dalam kegiatan atletik di tingkat
manapun.2
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini
adalah :
a)
Apa definisi Laserasi wajah ?
b)
Bagaimana Anatomi Laserasi wajah ?
c)
Bagaimana Epidemologi laserasi wajah
d)
Apa saja etiologi Laserasi Wajah ?
e)
Bagaimana Klasifikasi laserasi wajah ?
f)
Bagaimana Patofisiologi Laserasi Wajah?
g)
Bagaimana Manifestasi klinik laserasi Wajah ?
h)
Bagaimana Pemeriksan diagnosis laserasi
wajah ?
i)
Bagaimana penatalaksanan Laserasi Wajah ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan
dalam penulisan makalah ini adalah :
1.
Untuk mengetahui pengertian dari Laserasi wajah
2.
Untuk mengetahui anatomi laserasi wajah
3.
Untuk mengetahui epidemologi laserasi wajah
4.
Untuk
mengetahui etiologi dari penyakit Laserasi wajah
5.
Untuk
mengetahui klasifikasi laserasi wajah
6.
Untuk
mengetahui patofisiologi dari Laserasi wajah
7.
Untuk
mengetahui manifestasi klinik laserasi waja.
8.
Untuk
mengetahui pemeriksan diagnosis laserasi wajah
9.
Untuk
Mengetahui penatalaksanan laserasi wajah .
10. Untuk mengetahui proses pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien
penderita Pterigium.
D.
Manfaat Penulisan
a)
Manfaat bagi Tim Penulis
Dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman dalam membuat karya ilmiah dan menambah wawasan khususnya tentang
penyakit Laserasi wajah dan
ruang lingkupnya.
b)
Manfaat bagi pembaca
Menjadi bahan masukan dalam menambah
khazanah ilmu pengetahuan terutama mengenai konsep tentang Laserasi wajah dan ruang lingkupnya
dalam bidang kesehatan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.KONSEP
MEDIS
1. Definisi Laserasi Wajah
Laserasi wajah adalah suatu ruda paksa yang
mengenai wajah dan jaringan sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial
dapat mencakup jaringan lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan
lunak wajah adalah jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan
yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang kepala yang terdiri
dari : tulang hidung, tulang arkus zigomatikus, tulang mandibula, tulang
maksila, tulang rongga mata, gigi, tulang alveolus. Yang dimaksud dengan trauma jaringan lunak antara lain :
1. Abrasi kulit, tusukan, laserasi, tato.
2. Cedera
saraf, cabang saraf fasial.
3. Cedera kelenjar parotid atau duktus Stensen.
4. Cedera
kelopak mata.
5. Cedera telinga.
6. Cedera
hidung.3,4
2. Anatomi Laserasi wajah
Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada
tahun pertama dan kedua setelah lahir dan lambat laun akan menurun
kecepatannya. Pada anak usia 4-5 tahun,
besar kranium sudah mencapai 90% cranium dewasa. Maksilofasial tergabung
dalam tulang wajah yang tersusun secara baik dalam membentuk wajah
manusia.1
Daerah maksilofasial dibagi menjadi 3 bagian.
Bagian pertama adalah wajah bagian atas, di mana patah tulang melibatkan
frontal dan sinus. Bagian kedua adalah midface tersebut. Midface dibagi menjadi
bagian atas dan bawah. Para midface atas adalah di mana rahang atas Le Fort II
dan III Le Fort fraktur terjadi dan / atau di mana patah tulang hidung,
kompleks nasoethmoidal atau zygomaticomaxillary, dan lantai orbit terjadi.
Bagian ketiga dari daerah maksilofasial adalah wajah yang lebih rendah, di mana
patah tulang yang terisolasi ke rahang bawah.
Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya
lebih kecil dari tengkorak otak. Didalam tulang wajah terdapat rongga-rongga
yang membentuk rongga mulut (cavum
oris), dan rongga hidung (cavum nasi) dan rongga mata (orbita).
a. Bagian
hidung terdiri atas :
Os Lacrimal (tulang mata)
letaknya disebelah kiri/kanan pangkal hidung disudut mata. Os Nasal (tulang
hidung) yang membentuk batang hidung sebelahatas. Dan Os Konka nasal (tulang
karang hidung), letaknya di dalam ronggahidung dan bentuknya berlipat-lipat.
Septum nasi (sekat rongga hidung) adalahsambungan dari tulang tapis yang tegak.
b. Bagian
rahang terdiri atas tulang-tulang seperti :
Os Maksilaris (tulang rahang
atas), Os Zigomaticum, tulang pipi yangterdiri dari dua tulang kiri dan kanan.
Os Palatum atau tulang langit-langit, terdiridari dua dua buah tulang kiri dan
kanan. Os Mandibularis atau tulang rahangbawah, terdiri dari dua bagian yaitu
bagian kiri dan kanan yang kemudian bersatudi pertengahan dagu. Dibagian depan
dari mandibula terdapat processus coracoids tempat melekatnya otot.
Facial danger zones (Zona
bahaya wajah)
Secara anatomi, wajah memiliki
beberapa serabut-serabut saraf yang tersebar di beberapa lokasi di wajah, ada 7
lokasi-lokasi penting di sekitar wajah yang apabila terjadi trauma atau
kesalahan dalam penanganan trauma maksilofasial akan berakibat fatal,
lokasi-lokasi tersebut disebut dengan facial danger
zone.
3. Epidemiologi
Dari data penelitian itu menunjukan bahwa
kejadian trauma maksilofasial sekitar 6% dari seluruh trauma yang ditangani
oleh SMF Ilmu Bedah RS Dr.Soetomo. Kejadian fraktur mandibula dan maksila
terbanyak diantara 2 tulang lainnya, yaitu masing-masing sebesar 29,85 %,
disusul fraktur zigoma 27,64 % dan fraktur
nasal 12, 66 %. Penderita fraktur maksilofasial ini terbanyak pada
laki-laki usia produktif,yaitu usia 21-30 tahun, sekitar 64,38 % disertai
cedera di tempat lain, dan trauma penyerta terbanyak adalah cedera otak ringan
sampai berat, sekitar 56%. Penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas dan
sebagian besar adalah pengendara sepeda motor.
4. Etiologi
Laserasi wajah
Trauma wajah di perkotaan
paling sering disebabkan oleh perkelahian, diikuti oleh kendaraan
bermotor dan kecelakaan industri. Para zygoma dan rahang adalah tulang yang
paling umum patah selama serangan. Trauma wajah dalam pengaturan masyarakat
yang paling sering adalah akibat kecelakaan kendaraan bermotor, maka untuk
serangan dan kegiatan rekreasi. Kecelakaan kendaraan bermotor menghasilkan
patah tulang yang sering melibatkan midface,
terutama pada pasien yang tidak memakai sabuk pengaman mereka. Penyebab penting
lain dari trauma wajah termasuk trauma penetrasi, kekerasan dalam rumah tangga,
dan pelecehan anak-anak dan orang tua.
Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang
fatal menjadi masalah karena harus rawat inap di rumah sakit dengan cacat
permanen yang dapat mengenai ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang
dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas
5. Klasifikasi Laserasi wajah
Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan
menjadi dua bagian, yaitu trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak
wajah. Trauma jaringan lunak biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat
pecahan kaca pada kecelakaan lalu lintas atau pisau dan golok pada perkelahian.3
laserasi jaringan lunak wajah
v Luka adalah
kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma dari luar.
v Trauma pada
jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan : 3,5
1. Berdasarkan jenis luka dan penyebab:
a. Ekskoriasi
b. Luka sayat, luka robek , luka bacok.
c. Luka bakar
d. Luka tembak
2. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan
jaringan
3. Dikaitkan dengan unit estetik
Menguntungkan
atau tidak menguntungkan, dikaitkan dengan garis Langer.
Laserasi
jaringan keras wajah
Klasifikasi
trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang terjadi dan
dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg definitif. Secara umum dilihat dari terminologinya, trauma pada jaringan
keras wajah dapat diklasifikasikan
berdasarkan : 3
1. Dibedakan
berdasarkan lokasi anatomic dan estetik.a
a. Berdiri
Sendiri : fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum, maxilla, mandibulla,
gigi dan alveolus.
b. Bersifat
Multiple : Fraktur kompleks zigoma, fronto nasal dan fraktur kompleks mandibula
6. Patofisiologi
Laserasi wajah
Kehadiran energi kinetik
dalam benda bergerak adalah fungsi dari massa dikalikan dengan kuadrat
kecepatannya. Penyebaran energi kinetik saat deselerasi menghasilkan kekuatan
yang mengakibatkan cedera. Berdampak tinggi dan rendah-dampak kekuatan
didefinisikan sebagai besar atau lebih kecil dari 50 kali gaya gravitasi. Ini
berdampak parameter pada cedera yang dihasilkan karena jumlah gaya yang
dibutuhkan untuk menyebabkan kerusakan pada tulang wajah berbeda regional. Tepi
supraorbital, mandibula (simfisis dan sudut), dan tulang frontal memerlukan
kekuatan tinggi-dampak yang akan rusak. Sebuah dampak rendah-force adalah semua
yang diperlukan untuk merusak zygoma dan tulang hidung. `
Patah Tulang Frontal : ini terjadi akibat dari pukulan berat pada dahi. Bagian anterior dan / atau posterior sinus frontal mungkin terlibat. Gangguan
lakrimasi mungkin dapat terjadi jika dinding posterior sinus
frontal retak. Duktus nasofrontal sering terganggu.
Fraktur Dasar Orbital : Cedera dasar orbital dapat menyebabkan
suatu fraktur yang terisolasi atau dapat disertai dengan fraktur dinding
medial. Ketika kekuatan menyerang pinggiran orbital, tekanan
intraorbital meningkat dengan transmisi ini kekuatan dan merusak bagian-bagian terlemah dari dasar dan dinding medial orbita. Herniasi dari isi orbit ke dalam sinus maksilaris adalah mungkin. Insiden
cedera okular cukup tinggi, namun jarang
menyebabkan kematian.
Patah Tulang Hidung: Ini adalah hasil dari kekuatan diakibatkan oleh trauma langsung.7
Fraktur Nasoethmoidal (noes): akibat perpanjangan kekuatan trauma dari hidung ke tulang ethmoid dan dapat mengakibatkan kerusakan pada
canthus medial, aparatus lacrimalis, atau saluran
nasofrontal.1,7
Patah tulang lengkung zygomatic:
Sebuah pukulan langsung ke lengkung zygomatic dapat mengakibatkan fraktur
terisolasi melibatkan jahitan zygomaticotemporal.
Patah Tulang Zygomaticomaxillary kompleks (ZMCs): ini menyebabkan
patah tulang dari trauma langsung. Garis fraktur jahitan memperpanjang melalui
zygomaticotemporal, zygomaticofrontal, dan zygomaticomaxillary dan artikulasi
dengan tulang sphenoid. Garis fraktur biasanya memperpanjang melalui foramen
infraorbital dan lantai orbit. Cedera mata serentak yang umum.
Patah tulang rahang atas : ini
dikelompokkan sebagai Le Fort I, II, atau III.9
1.
Fraktur Le Fort I adalah
fraktur rahang horizontal di aspek inferior rahang atas dan memisahkan proses
alveolar dan langit-langit keras dari seluruh rahang atas. Fraktur meluas
melalui sepertiga bagian bawah septum dan termasuk sinus maksilaris dinding
lateralis memperluas ke tulang palatina dan piring pterygoideus.
2.
Fraktur Le Fort II adalah fraktur piramida mulai dari tulang hidung dan
memperluas melalui tulang lacrimalis; ke bawah melalui jahitan
zygomaticomaxillary; terus posterior dan lateral melalui rahang atas, bawah
zygoma itu, dan ke dalam piring pterygoideus.
3.
Fraktur Le Fort III atau dysjunction kraniofasial adalah pemisahan dari
semua tulang wajah dari dasar tengkorak dengan fraktur simultan dari zygoma, rahang,
dan tulang hidung. Garis fraktur meluas melalui tulang ethmoid
posterolaterally, orbit, dan jahitan pterygomaxillary ke fosa sphenopalatina.9
Fraktur mandibula: Ini dapat terjadi di
beberapa lokasi sekunder dengan bentuk U-rahang dan leher condylar lemah.
Fraktur sering terjadi bilateral di lokasi terpisah dari lokasi trauma
langsung.8
Patah tulang alveolar: Ini dapat
terjadi dalam isolasi dari kekuatan rendah energi langsung atau dapat hasil
dari perpanjangan garis fraktur melalui bagian alveolar rahang atas atau rahang
bawah.1
Fraktur Panfacial: Ini biasanya
sekunder mekanisme kecepatan tinggi mengakibatkan cedera pada wajah atas,
midface, dan wajah yang lebih rendah
7. Manifestasi Klinis
Gejala klinis gejala dan tanda trauma
maksilofasial dapat berupa :
ü Dislokasi,
berupa perubahan posisi yg menyebabkan maloklusi terutama pada fraktur
mandibula.
ü
Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur.
ü Rasa nyeri pada sisi fraktur.
ü Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran
napas.
ü Pembengkakan
dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi daerah fraktur.
ü Krepitasi
berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran.
ü Laserasi yg
terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur.
ü Diskolorisasi
perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan.
ü Numbness,
kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi dibawah nervus
alveolaris.
ü Pada fraktur
orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan pergerakan bola
mata dan penurunan visus
8. Pemeriksan diagnostic
1. Anamnesa 1
Mendapatkan informasi
tentang alergi, obat, status tetanus, riwayat medis dan bedah masa lalu, merupakan hal yang paling terakhir, dan peristiwa seputar cedera
2. Pemeriksaan
Fisik
v Inspeksi
Secara
sistematis bergerak dari atas ke bawah :
ü Deformitas, memar, abrasi, laserasi,
edema.
ü Luka tembus.
ü Asimetris atau tidak.
ü Adanya Maloklusi / trismus,
pertumbuhan gigi yang abnormal.
ü Otorrhea / Rhinorrheaf. Telecanthus,
Battle's sign, Raccoon's sign.
ü Cedera kelopak
mata.
ü Ecchymosis, epistaksisi.
ü Defisit pendengaran.
ü Perhatikan ekspresi wajah untuk rasa
nyeri, serta rasa cemas
v Palpasi
1. Periksa kepala dan wajah untuk
melihat adanya lecet, bengkak, ecchymosis, jaringan hilang, luka, dan
perdarahan, Periksa luka terbukauntuk memastikan adanya benda asing seperti
pasir, batu kerikil.
2. Periksa gigi untuk mobilitas,
fraktur, atau maloklusi. Jika gigi avulsi, mengesampingkan adanya aspirasi.
3. Palpasi untuk cedera tulang,
krepitasi, terutama di daerah pinggiran supraorbital dan infraorbital, tulang
frontal, lengkungan zygomatic, dan pada artikulasi zygoma dengan tulang
frontal, temporal, dan rahang atas.
4. Periksa mata untuk memastikan adanya
exophthalmos atau enophthalmos, menonjol
lemak dari kelopak mata, ketajaman visual, kelainan gerakan okular,
jarak interpupillary, dan ukuran pupil, bentuk,dan reaksi terhadap cahaya, baik
langsung dan konsensual.
5. Perhatikan sindrom fisura orbital
superior, ophthalmoplegia, ptosis dan proptosis.
6. Balikkan kelopak mata dan periksa
benda asing atau adanya laserasi.
7. Memeriksa ruang anterior untuk
mendeteksi adanya perdarahan, seperti hyphema.
8. Palpasi daerah orbital medial.
Kelembutan mungkin menandakan kerusakan pada kompleks nasoethmoidal.
9. Lakukan tes palpasi bimanual hidung,
bius dan tekan intranasal terhadap lengkung orbital medial. Secara bersamaan
tekan canthus medial. Jika tulang bergerak, berarti adanya kompleks
nasoethmoidal yang retak.
10. Lakukan tes traksi. Pegang tepi
kelopak mata bawah, dan tarik terhadap bagian medialnya. Jika "tarikan"
tendon terjadi, bisa dicurigai gangguan dari canthus medial.
11. Periksa hidung untuk telecanthus
(pelebaran sisi tengah hidung) atau dislokasi. Palpasi untuk kelembutan dan
krepitasi.
12. Periksa septum hidung untuk
hematoma, massa menonjol kebiruan, laserasi pelebaran mukosa, fraktur, atau
dislokasi, dan rhinorrhea cairan cerebrospinal.
13. Periksa untuk laserasi liang
telinga, kebocoran cairan serebrospinal, integritas membran timpani,
hemotympanum, perforasi, atauecchymosis
daerah mastoid (Battle sign).
14. Periksa lidah dan mencari luka
intraoral, ecchymosis, atau bengkak. Secara
Bimanual meraba mandibula, dan memeriksa tanda-tanda krepitasi atau
mobilitas.
15. Tempatkan satu tangan pada gigi
anterior rahang atas dan yang lainnya di sisi tengah hidung.
16. Gerakan
hanya gigi menunjukkan fraktur le fort I. Gerakan di sisi hidung menunjukkan fraktur Le Fort II atau III.
17. Memanipulasi setiap gigi individu
untuk bergerak, rasa sakit, gingival dan pendarahan intraoral, air mata, atau
adanya krepitasi.
18. Lakukan tes gigit pisau. Minta
pasien untuk menggigit keras pada pisau. Jika rahang retak, pasien tidak dapat
melakukan ini dan akan mengalami rasa sakit.
19. Meraba seluruh bahagian mandibula
dan sendi temporomandibular untuk memeriksa nyeri, kelainan bentuk, atau
ecchymosis.
20. Palpasi kondilus mandibula dengan
menempatkan satu jari di saluran telinga
eksternal, sementara pasien membuka dan menutup mulut. Rasa sakit atau
kurang gerak kondilus menunjukkan fraktur.
21. Periksa paresthesia atau anestesi
saraf.3
9. Pemeriksaan Penunjang
1. Wajah Bagian
Atas :
ü CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D).
ü CT-scan aksial koronal.
ü
Imaging Alternatif diantaranya termasuk CT Scan kepaladan X-ray kepala
2. Wajah Bagian Tengah :
ü CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D).
ü CT scan aksial koronal.
ü Imaging
Alternatif diantaranya termasuk radiografi posisi waters dan posteroanterior
(Caldwells), Submentovertek (Jughandles).
3. Wajah Bagian Bawah :
ü CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D.
ü Panoramic
X-ray.
ü Imaging
Alternatif diagnostik mencakup posisi :
ü Posteroanterior
(Caldwells)
ü Posisi lateral
(Schedell)
ü Posisi towne.
SEMOGA BERMANFAAT