Jumat, 21 Agustus 2015

Buku Gambar dan Pensil Warna

Aku pernah melakukan sebuah perjalanan panjang dengan kereta api, dari ujung pulau ke ujung satunya lagi. Perjalanan dimulai ketika stasiun tua di tengah kota tersebut diterangi larik-larik cahaya kuning keemasan, tanda matahari akan segera karam. Orang-orang sibuk bicara, air mata sibuk menjadi hujan, beberapa jatuh ke lantai, beberapa sempat disembunyikan.
Aku duduk di pintu, mengatur tasku sedemikian rupa agar tidak jatuh keluar atau menghalangi jalan orang lalu-lalang. Kereta mulai bergerak lambat-lambat dan aku melipat tangan rekat-rekat untuk melindungi dadaku dari angin yang bertiup dengan liciknya dari celah pintu, pintu kubuka, wajahku ditampar cahaya lampu kota, lalu kututup lagi, sepertinya memang tidak akan bisa ditutup terlalu rapat. Aku menduduki selembar koran tepat di halaman rubrik obituari, kemudian menghabiskan sepuluh menit berikutnya untuk membacanya satu per satu dari celah kakiku, telah berpulang, telah pergi, dari keluarga yang ditinggalkan, semoga tuhan mengampuni. Aku tidak dapat mengingat kapan terakhir kali orang mati bisa seriuh ini.
Seorang pedagang kopi berumur enam puluhan menawarkan kopi, sudah pasti. Rambutnya yang tipis-tipis berwarna putih keperakan seperti pohon cemara meranggas dimakan angin malam disisirnya ke belakang. Aku mengiyakan, sambil berkata orang seumurnya tidak seharusnya masih kelayapan, pedagang kopi tertawa, bahunya berguncang-guncang, matanya terbelalak berusaha menangkap napas yang berserakan. Kopi sudah jadi, lalu kami duduk berhadap-hadapan. Tidak keliling lagi, tanyaku. Nanti lagi bisa, katanya.
Kereta berjalan seperti seharusnya, tiang listrik berkejar-kerjaran di luar jendela seperti biasa.
Pedagang kopi di depanku menyeduh percakapan lebih cepat dari kopi, ia bercerita tentang istri-istrinya yang tidak pernah berhenti menua, jauh dari bayangannya dulu ketika ia menikahi mereka dengan tergesa-gesa. Satu saja, kataku. Memang satu, katanya. Lalu yang lain, tanyaku. Sudah pergi satu-persatu, jawabnya. Kopiku masuk ke dalam kepala lebih cepat dari percakapan, pedagang kopi meludahi lantai kereta sepanjang perjalanan. Ia bercerita tentang anak-anaknya yang minta dibelikan buku gambar dan pensil warna gara-gara anak tetangga yang katanya bisa menggambar sawah dengan warna hijau terang meskipun sawah ayahnya sudah dua kali gagal panen diterjang banjir bandang. Belikan saja, kataku. Jangan dulu, katanya. Kenapa, tanyaku. Anaknya buta warna, jawabnya.
Toh termos kopi warnanya itu-itu saja, kataku lagi. Ia tertawa keras sekali.
Kereta sauh di stasiun kecil berdebu tepat ketika pagi jatuh. Orang-orang berceceran keluar kereta melalui lubang-lubang yang pertama kali mereka temukan. Aku melihat jam. Sudah dekat. Aku bisa mencium wangi rindumu dari sini, tajam sekali. Beberapa jam lagi aku akan menemukanmu berdiri di seberang jalan dengan raut muka cemas membayangkan bocah kecilnya menempuh perjalanan begitu panjang, lalu kita akan bertatap-tapan dan saling mencari pantulan masing-masing dalam diam. Kau akan melihatku menjatuhkan tas begitu saja pura-pura kelelahan, agar malam nanti kau membiarkanku bermain sepuasnya di pekarangan dadamu yang lapang.

Lalu seperti biasa, kau akan bertanya apa yang kusembunyikan di tanganku. Lalu aku akan berkata, aku membawakanmu buku gambar dan pensil warna. Karena selama ratusan hari ini terpisah ratusan kilometer denganmu -aku bosan dengan warna yang itu-itu saja.

Re-post dari Nitisamasta Dad Blog :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar